Allah Maha Baik

Sunday, November 24, 2013

Janji yang Belum Tertunai

Promise is a promise, aku bukan tipe orang yang mudah ingkar janji, dari yang janji yang paling imut hingga besar dan urgent. Meski sesekali lupa membuat beberapa janji tak tertepati sesuai waktunya.

Janji tersulit untuk ditepati adalah janji pada diri sendiri, biasanya target-target untuk pencapaian diri yang lebih baik. Jauh lebih mudah membayar janji pada orang lain, karena ada tenggat, karena ada perasaan tak nyaman saat berinteraksi dengan orang tersebut. Bagaimana dengan diri sendiri? Karena diri terus menoleransi keterlambatan, terus memaafkan hingga beberapa melayang begitu saja, tak keruan lagi ada dimana. Hingga kadang tak terasa bahwa beberapa cara sudah membawa diri jauh terlupa, sudah membawa diri terzalimi kian hari. Usaha menjadi lebih baik itu sebenarnya mudah juga murah tapi menjadi buruk memang tidak perlu modal dan keyakinan besar, cukup dengan banyak berdalih maka lama-lama ia akan mengkristal, menjadikan diri layaknya diarahkan olehnya, tak terkendali.

Suara jauh di seberang sana kemarin mengingatkanku pada sebuah janji yang belum tertunai. Suara pemicu rindu itu membuatku berpikir panjang semalam suntuk sambil mengerjakan ini itu, hingga pagi ini masih terngiang di kepalaku. Ah, aku merasa terdesak oleh keadaan hingga sengaja melupakan janji itu. Aku memberi tenggat yang terlalu kendor, hingga pemaafan demi pemaafan kujadikan alasan untuk berlagak lupa. Jauh didalam hatiku, aku tak yakin mampu. Aku sadar pemenuhan janji ini sangat tidak mudah, konsekuensi dibelakangnya teramat panjang dan rumit untuk diselesaikan satu demi satu. Itulah mengapa aku berlagak damai dan nyaman pada pilihan-pilihanku saat ini. Tapi suara itu, suara itu menyiratkan lebih dari dukungan moril, suara yang menjanjikan akan menopang semua kepedihan dan kesulitan yang akan aku jalani saat aku menetapkan hati memilih jalan ini, memilih menunaikan sebuah janji. Ah, sungguh kukatakan padamu aku belum siap, aku belum siap meneteskan air mata dan bersimbah keringat untuk itu. Aku belum siap memasuki dunia yang sangat jauh berbeda yang tentu memerlukan lebih banyak kontemplasi daripada sekedar khayalan singkat tak bermutu. Aku belum ingin menghabiskan waktu dalam ruang dan waktu dengan cara berbeda dan aku tahu sebagian besar mengikat, mendesak.

Apa yang harus kulakukan? Saat rasanya bangun pagi terasa berat karena ada teguran berbagai nada mengikuti, membisikkan bahwa ini sudah saatnya, ini sudah waktunya beranjak dari fase kehidupan ini, fase kehidupan yang sudah terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Aku, tergugu. 

No comments:

Post a Comment