Allah Maha Baik

Saturday, February 22, 2014

Art Session

Insomnia membawaku pada laman ini kemudian mengingatkan minggu-minggu dengan aktivitas baru. Masih dengan rutinitas namun diselingi jeda bertabur nada, not balok, not angka dan sejenisnya. Yah, kelas musik, terminologi baru bertaburan dimana-mana, aturan nada juga jenis suara, alto, sopran, bass, atau tenor. Kelas beberapa jam dengan materi memusingkan tapi menyenangkan, betapa tidak, it's fun, enjoyable and sssst the teacher is really good looking and single :D

Mencatat beberapa lembar saja membuat saya pusing, ada banyak tanda (walau kata gurunya sedikit), ada berbagai lambang yang harus diingat. Dan yang pasti mereka sangat berguna, layaknya not angka, not balok juga tidak bisa dikesampingkan, ntahkah itu untuk menjadi penyanyi atau juga menjadi komposer. Well, well, saya bukan mau menjadi keduanya, namun profesi dadakan membuat saya harus mencemplungkan diri secara sukarela ke dalam dunia yang menurut saya memang menyenangkan. Basically, I always love music.

Lembaran partitur yang jelas masih belum bisa saya mengerti sepenuhnya (baru beberapa pam-pam-parampam dan begitulah) membawa saya pada sebuah kesadaran lama yang terpendam oleh cepatnya hari berlalu serta padatnya kegiatan yang tidak memberi ruang pada kontemplasi yang berarti. Yeah beberapa refleksi akhir-akhir ini malah melenceng jauh hingga membawa pada kesimpulan menyesatkan akan kehidupan. Lelah tidak membuat otak dan hati bersinkronisasi dengan benar, they just need rest. Buktinya harus ada demam melanda barulah istirahat diluangkan, cruel. Lagi, kelas sore yang sempat menggeser peran saya kembali menjadi penyimak yang baik membawa saya pada ingatan bahwa ilmu Allah sangatlah kaya. Lihatlah, betapa musik punya komponen yang sangat luas untuk didalami, tidak selalu tentang suara merdu atau juga bakat terpendam tapi ada banyak komponen yang harus dipelajari hingga membuat seseorang bisa dikatakan pemusik andal nan ahli. 

Tidak ada celah untuk menyombongkan diri. Meski kadang sebuah keterampilan kecil saja membawa pada bangga yang berlebihan, tapi sebenarnya itu salah, salah yang teramat besar. Bahkan orang ahli dalam banyak bidang sekaligus pun pasti tetap lebih banyak tidak tahunya tentang ilmu lainnya. Tidak ada alasan sombong penuh kemenangan ketika berhasil memperoleh juga mengaplikasikan ilmu yang dimiliki pada kehidupan, karena masih banyak sekali ilmu Allah lainnya yang bertebaran dan harusnya menjadikan diri ini sadar bahwa belajar memang seharusnya sepanjang hayat. Kadang jika membaca long life learning  itu hanya seperti sebuah teori usang yang kurang peminat. Betapa mudah ditemukan murid yang sedikit mengalami kesulitan langsung menyerah dan berhenti belajar, Atau juga gurunya yang merasa sudah oke punya hingga menutup diri dari menggali ilmu yang lebih dalam, lebih banyak tentang berbagai hal. Juga profesi lain, yang seringkali ditemui merasa cukup hingga seolah ringan menutup buku dan cuek pada ilmu-ilmu yang berserakan.

Keep learning, doing and moving forward.

Monday, February 17, 2014

Buruh di Negeri Sendiri

Perjalanan kemarin membawaku pada kesimpulan bahwa banyak rakyat Indonesia yang bisa dikatakan tuan rumah menjadi buruh di negerinya yang kaya ini.

Sepanjang jalan yang kulihat adalah pohon-pohon sawit yang jika kuperkirakan dengan ilmu kira-kira sudah berusia puluhan tahun, tampak dari pohon-pohon yang tinggi menjulang serta beberapa terlihat tidak produktif lagi. Aku baru tahu kalau pohon sawit bisa hidup setinggi itu, kupikir ia hanya seperti pohon salak karena yang sering kuperhatikan dijalan tumbuh pendek-pendek.

Memasuki bagian dalam dari tempat ini membuatku seolah bangun dari mimpi. Tempat ini tampak terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan pulau nan cantik ini. Lihat saja tata letak bagi setiap bagian sangatlah apik, lalu masuk ke bagian yang lebih dalam, jalan-jalan nampak teratur seolah membawa ke vila di puncak. Dan yah ada villa juga meski sederhana karena gaya lama serta ada`lapang golf yang menjadi daya tarik ditengah-tengah perkebunan yang sudah mulai beroperasi dari tahun 1995 ini. 

Berjumpa dengan bapak yang ditugaskan menyambut kami lagi membuka wawasan baru. Perkebunan ini memiliki luas belasan ribu hektar dengan pabrik terintegrasi yang langsung mengolah bahan baku. Hasil bahan pun tidak dipakai di negeri sendiri melainkan diekspor ke negara-negara Asia Timur, Selatan, dan Afrika. Hasil produksi per harinya mencapai ribuan ton. Saya bertanya-tanya dalam hati, semua ini milik siapa? Lantas diskusi selanjutnya lebih mencengangkan lagi, bahwa seperti perkebunan serupa pada umumnya, perusahaan ini juga milik pengusaha dari negara tetangga. Para insinyur yang baru bertemu saya tadi adalah orang-orang yang bekerja dibawahnya. Okelah untuk teknisi, programmer untuk pengendalian mesin berkomputer dan menggunakan mesin lainnya, tapi bagaimana dengan para buruh? Yang angkut sana, angkut sini? Yang panas melepuh saat memetik hasil panen? Sedangkan pulau ini memang selalu panas, kurasa sebenarnya pulau ini hanya memiliki musim panas sekali dan panas saja hingga wajar jika lama kemudian kulit menjadi sangat Indonesia, sawo matang. Perih karena terlalu matang.

Kembali ke cerita awal, bagaimana tanah seluas ini menjadi surga bagi pemiliknya, atau pemilik sebagian atau kepala-kepala divisi yang agak tinggi jabatannya. Kenapa jika sebuah tempat publik itu bagus kualitasnya, entahkah perusahaan, entahkah rumah sakit, entahkah sekolah, haruslah milik asing? Menjadi buruh di negeri sendiri seakan sudah menjadi kebiasaan yang lumrah, begitukah? Kutanya pada lapangan golf yang menawan, ia tersenyum, diam.   

Gifted

Thanks God, I have met chances to meet many wonderful people from different areas. Indeed, now they are my kids, gifted ones. I rarely met gifted children in many areas, but here it's like the place is full of those. Not only those who are great in academic, but also they are amazing in (what Gardner said multiple intelligence).

A sad week

To climb the hill, you need preparation. To become a great person, you need to learn and struggle. If it's not enough, then do more.
I was facing a sad week with a sad story of a little girl. The one who wants to fly to her sky, be herself that she has already felt sure about it. That was a dusty sillly word that let her into a huge trouble in her age. She got to face a hazardous situation without realizing the future risk. But, I am sure she has learnd. To see her smile today is a gift. A smile of another door has been opened anymore, I love being a witness and being involved to open an opportunity of her success.

..."Ability can get you to the top, but it takes character to keep you there."
I ve just taken the quotation from the coach Wooden. More than ability, people need character to survive then succed. I always remind my kids who sometime (maybe because they're young or something deal with puberty) forget to learn about another most important point in life, behavior. Although you have been blessed with some skills that others don't, it doesn't mean you can waste your time being an arrogant person. A person who never cares about others, or ignore any rules of life for the sake of his fun time.

Gifted
\
I swear they are gifted. Yeah, to be honest, it's still hard to find (in spite of my efforts to keep looking for) those who are good and talented in English. At last not least I find other skills. Diamond instead of gold, similar quality and price. i have found some who has a wonderful talent in singing. Some who are excellent in acting. Or some who are great in many field in one package. See, they are brilliant. Maybe I should open another Art School here.

Sunday, February 9, 2014

White Lie? That's Nonsense

I love surprise, just can't change it although nobody surprises me in a good definition recently. I hate lies, whatever it is, whether it is white or black, or even grey. And sure, I hate liars, when they lie once, they will do it again and again. 

I always wonder how a liar has grown. Should I refer to a he or she? I m sure "it" isn't logic. So, let's call a liar here a he. He can simply say a thing, lighly, comes out from his mouth while he doesn't care the risk. He supposes that everyone loves being lied, just like he himself, so it's not a big deal to create such a huge trauma in others heart dealing with him.

Hmm, I know we tend to judge others who different with us wrong, but let see the case clearly. How can we become so arrogant to feel right in most cases without noticing in detail what's going on? Simply say it's a genetic huh?

Well, I have met some liars. The low level until the high class of liars. Let see, when we promise we will meet with somebody else, somewhere, at a certain time. If s/he comes always late but s/he says she doesn't mean it, he is a low level one. I msure, everybody lies some time but in a demanding point, which he can be forgiven. But for the high class, he often lies to you no matter the case it. Let say, he promises he will do something for you, but he never did or he did very lately until you say it repeteadly in his ears. Or he asks your permission to go somewhere, then you find he goes to somewhere far than the place he tells you before. That's scary. I just can't believe that there are some people like this. Especially for men, don't they realize that they will be responsible to build a family, or a city, or a country. But how come if they can't build trust in their profile. Isn't trust the precious thing needed in building a global partnership, is it?

Yeah, maybe I m too naive but I certainly believe that even white lie is nonsense. 

*God, I m sure U sees the flowing. Save me from liars.

Kemana Pohon Itu?

Aku selalu suka pohon rindang, yang bersahabat, membuat sejuk dikala gundah, membuat lega disaat gerah, membuat tenang dan nyaman juga melindungi dari amuk badai disaat apapun.

Dulu, pohon itu ada disana, menjadi rumah kedua, malah bisa jadi rumah pertama karena di pohon itu tempat segala muara hari-hariku berlabuh. Disana, aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa harus ada dusta agar terlihat lebih indah, atau apalah namanya. Satu hal yang pasti ia tak akan pernah berubah menjadi monster karena kesalahan kecilku, ia diam mendengarkan, jika ia bisa bicara ia bak seorang ibu yang memberi nasihat bijak, memberi pandangan hingga anaknya tidak salah langkah dalam pilihan hidupnya. Ia selalu menjadi tempat berlabuh yang meneduhkan. Tak pernah ia membuat luka, ah bagaimanapun ia hanya sebatang pohon tua yang rindang. Sehingga respon apapun yang dibuatnya mampu membuat gundah terbang entah kemana, melihatnya saja hati sudah riang kembali.

Pohon ditanam dengan tujuan itu, hadirnya diharapkan dapat mengambil sosok ayah yang melindungi dari panas sinar matahari yang menyengat. Tapi, musim berubah. Layaknya cinta manusia yang tidak pernah kekal, pohon itu pun seolah hilang, tidak seutuhnya karena ia masih berdiri kokoh disana. Tapi aku tidak menemukan kesejukan yang sama, aku tak mendapati "rumah" yang sama. Ia menjadi arogan, apakah karena musim membuat semua kebaikannya meranggas? Ia menjadi dingin hingga tidak enak untuk dijadikan tempat berteduh apalagi melepas gundah gulana, malah ia pencipta gundah bagi orang yang mendekatinya. Aku tidak bisa jauh darinya karena seolah kebersamaan sebelumnya adalah pengikat tak kasat mata, belum lagi ia juga tumbuh disekitarku. Kemana perginya ia? Aku tak menginginkan wujudnya saja, tapi juga kasih sayangnya. Kasih yang mengajarkan bahwa ikatan tak bisa dimulai dengan kebohongan, meski kecil dusta akan membawa celaka. Keteduhan yang mengajarkan bahwa ia layak menjadi sandaran di musim apapun yang menentang. 

*Autumn 2014, segalanya berguguran.

Saturday, February 1, 2014

Welcome February

...

I succeded not to write a lot last month, since my mind, mood, and everything looked so hectic.
Beberapa hari ini berpikir lagi, panjang, dalam. Entahkah kehidupan terasa mudah dilalui atau sulit penuh getar-getar menantang juga membingungkan, tetap saja ada titik dimana jenuh atau bosan menyerang. Tidak selalu tentang rutinitas, tapi juga tentang lepas nya tujuan kehidupan itu sendiri.

Sabtu selalu menyenangkan karena kegiatan khusus berupa amalan-amalan pengingat Tuhan dilaksanakan. "Ingat padaku agar hatimu tenang", katanya. Perintah singkat ini terdengar bercanda, terdengan sering digemakan, tapi sulit dilakukan. Mengapalah manusia suka bertindak rumit? Padahal menjadi tenang sebenarnya perkara murah dan mudah. Manusia bisa saja melakukan hal-hal ringan nan mudah untuk menuju ketenangan jiwa, tapi tetap saja memilih hal mahal dan glamor yang tentu saja, ntah disadari atau tidak, membuat hati jauh dari rasa tenang. Berkaitan dengan jenuh tadi, saya yakin jika cara-cara mudah murah tadi dilakukan akan sulit sekali rasa bosan nan jenuh menyusup kedalam hati. Jika di pikir-pikir alangkah ringan nya perintah sholat, tinggal sholat saja tepat waktunya, apalagi jika dilakukan berjamaah, perintah tertunai, damai datang sebagai bonus. Tapi lihat, betapa malas dengan mudah menjadikan perkara ringan tadi menjadi rumit. Manusia dengan mudahnya berkilah, membuat serentetan alasan untuk menunda bahkan tidak melaksanakan perintah. Padahal jalan menuju surga itu murah, bukan? Tidak ada yang meminta bayaran atas amalan apapun yang ingin dilakukan. Coba pikirkan kegiatan-kegiatan mahal yang dilakukan, apa iya jalan tersebut membawa ketenangan? Misal merokok, saya akhir-akhir ini berulang kali ngomel dengan kebiasaan mahal yang satu ini. Kebiasaan yang jelas membuat kantong menipis, kesehatan menurun, dan membawa keburukan bagi lingkungan sekitar. Ntahlah, apapun alasannya, menjadi buruk dan memilih jalan yang tidak sesuai dengan aturan terasa lebih ringan. Badai malas melanda setiap harinya, membisiki diri untuk menunda, hingga lama-lama menjadi terbiasa melalaikan kebaikan apapun bentuknya.

Pagi ini saya dipertemukan tidak sengaja lagi dengan selebaran yang isinya mirip apa yang tertempel dikamar orang tua saya. Rupanya kalimat-kalimat ini merupakan cerita lama dari Imam Al-Ghozali dengan murid-muridnya. Suatu hari beliau berkumpul dengan murid-muridnya, lalu bertanya:
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali lalu menjelaskan semua jawaban itu benar, tetapi yang paling dekat dengan manusia adalah kematian. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (3: 185).

Pertanyaan berikutnya yang beliau ajukan ialah, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"
Beragam jawaban pun muncul, matahari, bintang, negara-negara yang jauh seperti Cina, dan lain-lain. Lagi, beliau menyatakan betapa jawaban mereka benar, tapi yang paling jauh adalah masa lalu. Apapun yang kita lalukan, apapun pilihan kita tentang banyak hal di dunia ini, masa lalu adalah hal paling jauh yang tak terjangkau. Lihatlah, bahkan kejadian pagi tadi pun tidak bisa diulang kembali. Setiap saat berlalu begitu cepat, alangkah ruginya jika diisi dengan hal-hal bodoh dan menjauhkan diri dari ketenangan.

Lalu, imam Ghozali bertanya kembali, "Apa yang besar di dunia ini?"
Ada yang menjawab gunung, samudera, bumi, matahari dan benda-benda lain yang besar. Imam Ghozali menerangkan bahwa yang paling besar adalah nafsu. 
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (7:179)  

Pertanyaan keempat adalah "Apa yang paling berat di dunia ini?"
Jawabannya adalah memegang amanah. 
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (33:72)

Pertanyaan selanjutnya "Apa yang paling ringan di dunia ini?"
Jawabannya adalah meninggalkan sholat. Nah, menyambung preambule diatas, betapa kita dengan mudahnya menyebutkan ribuan alasan demi meninggalkan beberapa menit sholat yang sebenarnya jika di pikir-pikir tidak memberatkan sama sekali. Alasan-alasan seperti capek saat isya, tanggung masih bekerja atau rapat untuk zuhur, ketiduran saat asar, atau malas bangun, dingin untuk subuh, serta masih dijalan atau ntahlah untuk magrib. Selalu lebih mudah membuat alasan daripada melakukan perintah. Pengalaman saya jika memberi tugas juga begitu. Ada bejibun alasan klise untuk menutupi rasa tidak mau, rasa tidak peduli. 

Dan yang terakhir, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"
Jawaban beliau bukan pedang yang dibuat dengan bahan terbaik, namun lidah, lidah manusia. Karena lewat lidah, manusia bisa saling membunuh, bahkan meletuslah perang. Karena lidah, manusia bisa merusak apa yang baik, dan karena lidah manusia bisa hancur.

Titik jenuh alias kebosanan terhadap beragam hal dalam hidup membuat saya berpikir kadang menjadi seorang manusia bisa saja mudah, sekaligus rumit. Yang jelas menjadi manusia yang sia-sia bukanlah pilihan yang bijak. 

*another chapter of contemplation