Allah Maha Baik

Tuesday, June 25, 2013

Episode 3: Wanita dan Surga

Aku masih bertanya-tanya kenapa aku datang ke mall besar dan menyebalkan di Palembang ini hanya karena sebuah sms yang berbunyi. "Datanglah, aku butuh nasihatmu wanita bermata rembulan". Weh meski aku sempat tertawa dengan kalimat yang sudah kuhapal nada gombal dan alay nya, aku tahu teman SMA ku ini sedang dilanda galau tingkat akut. Jika tidak, ia tak mungkin menghubungiku. Itulah kenapa aku datang ke tempat yang tak begitu kusukai ini.

"Ini yang keempat kalinya, aku membawa wanita cantik ke rumah dan ditolak oleh ibuku. Kurasa, ibu punya segudang alasan untuk menyatakan ketidaksukaan pada pilihanku." Katanya dengan muka super serius yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Aku tersenyum, bingung, "Apa kata ibumu?"

"Ibu hanya sekilas melihat mereka dan berkata tidak cocok. Entah darimananya, jika kutanya ibu diam saja."

Aku tersenyum lagi, "Kau mencintai wanita itu? Kenapa tidak kau paksakan saja. Well, yah kata orang cinta yang tulus bisa mebabat hambatan apapun. Apalagi ibumu tak mungkin ingin melihatmu menderita. Seperti di film-film, asal kau dan dia gigih pasti ibumu akan luluh.

Dia menghela napas, "Aku sempat berpikir begitu. Tapi kamu tahu prinsipku, wanita adalah surgaku, baik ibu maupun siapapun dia yang jadi istriku nanti.

Glek, aku terdiam karena pernah mendengar ungkapan yang sama tentang wanita dan surga ini dari seorang lelaki. "Aku tak menyangka seorang playboy cap kecap seperti dirimu punya prinsip. Bukannya wanita adalah pelepas dahaga bagi sepimu yang tak kunjung mudah hinggap di satu hati itu."

"Kamu masih menganggapku begitu? Waktu merubahku, win. Aku butuh wanita yang membuatku mulia sekarang dan suatu saat di akhirat kelak." Katanya

"Wah, kau bahkan bicara akhirat sekarang ini." Aku terkekeh. "Aku juga tak mampu memberimu nasihat berharga. Kau lihat sendiri hingga sekarang aku masih berstatus sama, itu artinya aku masih dalam fase berputar di sekitar masalah yang sama denganmu." Jelasku.

"Kau tahu, win? Saat aku sangat mencintai seseorang, aku ingin ibuku juga mencintai wanitaku. Meski aku dan ibu jarang bicara karena jarak, tapi ibu tetaplah ibu. Lihatlah dulu aku yang sangat tidak menghargai keberadaan ayah hingga Tuhan mengambilnya dariku. Meninggalkan aku dan ibu dengan bebagai himpitan sosial, finansial. Ah, win, bagaimana mungkin aku mengecewakan ibuku yang tinggal satu-satunya. Tak pernah ibu terlihat bahagia selain saat aku menceritakan tentang kamu win. Dia masih terlalu serius menurutku.

"Hei, apa maksud akhir kalimat itu? Itu bukan rayuan kacang campur gula merah alias rujak kan?" Aku tertawa.

"Haha, wanita sepertimu hanya pantas dimintai nasihat atau dijadikan iostri, win, tak layak mendapat kata-kata pemanis suasana saja, percayalah padaku." Katanya lagi, kali ini tersenyum.

"Cobalah jelaskan dengan lebih lembut pada ibumu atau ajak wanitamu untuk bersama mendekati ibumu. Jika kali ini cintamu berlabuh pada tempat yang benar maka akan ada titik terangnya. Tak ada satupun hubungan cinta yang mulus-mulus saja, pasti ada badai, jika kalian berdua kuat tentu badai jenis apapun bisa terlewati. Kataku ragu dengan ucapanku sendiri.

"Ada apa? kata-katamu ada benarnya." Dia menyambut.

"Sudah kukatakan, aku bahkan masih berputar pada ranah yang sama denganmu. Kalau dirasa ada benarnya coba saja."Tukasku ringan.

Tidak ada yang persis tahu cara menerjemahkan kepantasan dan keadilan Tuhan. Jika dilihat dari pasangan suami istri yang sudah ada, ada yang dengan mudah dilihat titik samanya, ada yang sulit, tak terbaca. Tuhan yang benar-benar tahu dan punya kuasa untuk menyatukan siapa dengan siapa. Tuhan yang maha tahu atas niat yang terbaca di hati manusia dan bagaimana seseorang berjuang layak atau tidak untuk orang lainnya. Secara kasat mata, manusia kadang bisa dengan mudah menilai bahwa ia cocok dengan ia, padahal tidak ataupun sebaliknya. Let Allah does something you can't conquer.

*Bisikan di hari Sabtu, 11 p.m. Palembang Indah Mall.




Monday, June 24, 2013

Aku Malu

Aku malu pada matahari yang selalu setia pada titah Tuhannya, datang, tenggelam atau menunda selalu karen perintah. Tak pernah sok tahu, tak pernah sok kuasa.

Aku malu saat sadar bahwa kadang jiwa ini merasa begitu memahami apa itu arti cinta serta wujudnya. Berontak, tergesa, dan tertekan tanpa sebab yang bersangkutan dengan perintah Tuhan. Aku malu telah menafsirkan beragam rasa sebagai jalan cinta yang harus diperjuangkan. Tidak ada yang tahu pasti apa arti kelayakan sebuah cinta untuk berpadu dengan cinta lainnya. Jika dua hati telah ditakdirkan untuk menaati perintah Tuhan maka tidak akan ada penghalang yang tampak terlalu besar hingga cinta harus mengalah, harus menderita.

Sebuah cinta yang karenaNya jelas terasa kebaikan didalamnya, rasa takut yang berlebihan tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan itu. Aku malu telah menerjemahkan banyak rasa dengan semena-mena, merasa aku yang paling tahu, aku yang paling berkuasa atas kehidupan ajaibku. Aku malu pada Tuhan pemegang segala kuasa, yang jauh lebih tahu bahwa ini bukanlah itu.

Cinta dengan kedamaian didalamnya, bermuara pada Tuhan dan segala sifat MahaNya serta melahirkan kebaikan, setetes demi setetes, seteguk demi seteguk. Cinta dengan jalan indah, dengan seluas ketulusan serta pengorbanan yang bukan karena kepentingan. Cinta yang bukan untuk kekuasaan ke depan. Cinta tanpa kepentingan politis yang bertele-tele.

Aku malu pada diriku sendiri, pada bisik jiwaku yang mengadu selama ini. Pada hati kecilku yang sering berontak karena keinginan mereguk rasa aman dan nyaman dalam mereguk cinta. Aku malu, sungguh.

Tuesday, June 18, 2013

Lari Dari Kenyataan

Berapa banyak dari kita yang memilih untuk bersembunyi dari kenyataan? Hmm, saya adalah tipikal orang yang lebih sering diam jika mendapat kata-kata yang tidak pantas. Biasanya, saya akan langsung mengatakan kepada diri sendiri, "don't bother, u are not the one that whoever says". Dan itu berhasil, berdiam diri saja hingga kadang saya pikir ini lebih mulia daripada saya membalas dengan kata-kata serupa pada orang tersebut.

Namun, entahlah sore ini saya merasa terkadang cara tersebut tidak selalu bekerja. Menunggu orang lain sadar sendiri dengan ucapan-ucapan tidak pantas kemudian meminta maaf tidak selalu berhasil. Saya kadang bingung, mungkin latar belakang saya mempengaruhi pilihan cara yang saya pilih sebelumnya. Bukankah tidak semua orang bisa sadar sendiri? Beberapa bisa didiamkan saja dan jika tingkat mawas diri mereka cukup bagus maka akan sadar sendiri, tapi beberapa jenis orang nampaknya perlu dibalas dengan cara yang serupa.

Bisakah berdiam diri disebut lari dari kenyataan? Tampak seperti bersembunyi dari orang-orang sok tahu tentang apa yang harus dilakukan orang lain. Bukan berarti harus balik menggunakan kata-kata kasar tentunya. Hmm, proses pembelajaran menuju kematangan emosional dan psikologis ini sangatlah berat. Dua tahun terakhir saya merasa benar-benar terombang ambing takut salah atau menyalahkan beberapa sikap yang menurut saya sekarang tampak tidak layak dilakukan.

Monday, June 17, 2013

Kuliah S2 Ke Luar Negeri

Semakin bertambah umur saya makin sensitif, entah itu dengan intonasi ucapan yang tinggi atau sikap acuh yang menyebalkan. Banyak sekali pengabaian dan sikap skeptis saat saya mengungkapkan sesuatu yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya.

Terlebih untuk hal satu ini, kuliah S2, luar negeri pula..sudah sekian banyak kalimat mengejek yang saya dengar, baik itu dari kalangan keluarga maupun rekan kerja. Umumnya mereka mengatakan untuk apa sekolah lagi, toh cuma ngajar SMP ini. Atau ada lagi yang bilang kamu kan sudah ke luar negeri apa tidak capek? :D capek? Oh no. Sesaat saya pernah down dengan kata-kata bernuansa negatif ini, ugh mungkin sebaiknya meniru katak yang tuli jika ingin berbeda.

Perkara kuliah ini cukup complicated hingga saya lama sekali menunda. Terutama dari orang tua. Saya kadang bingung dengan orang tua saya yang cukup paham, tapi tetap berat kalau saya yang melakukannya, alasannya klise, "kamu kan perempuan, nanti kalau sudah bergelar master, luar negeri pula, akan makin sulit jodoh." Kalimat sederhana yang menggelitik tapi jangan salah, saya tetap anak yang baik dan penurut kala itu hingga niat kuliah ini mesti disimpan rapat dalam hati. Belum lagi, dari para calon (yang belum tentu jadi) suami, yang lantas mengerutkan kening saat saya bicara ini, hehe salah satu syarat adalah mengijinkan saya pergi dalam waktu dekat. Sukseslah baik menikah maupun kuliah menjadi misteri sumur dalam bagi saya.

Kuliah S2 ini sudah menjadi mimpi yang tergantung di langit yang belum naik juga, masih sebatas mimpi. Layaknya proses pendewasaan diri, niatan kuliah ini juga membuat saya banyak melakukan kontemplasi. Diawal selain beberapa alasan diatas, saya juga mendorong diri saya untuk menunda kuliah jika niatnya masih sebatas ingin mendapat kedudukan di mata manusia. Pujian dan sejenis itu memang sesuatu yang cetar membahana. Namun makin ke sini saya mulai merasa bahwa ilmu yang saya miliki masih sangat sedikit hingga saat berhadapan dengan masalah-masalah yang kecil namun rumit membuat saya menyerah dengan mudah.

Jujur saja, saya paling tidak tahan ejekan dan cemoohan, apalagi untuk sesuatu yang sifatnya personal sekali. Kenapa sebagian orang merasa paling tahu niat orang lain saat melakukan sesuatu? Ada yang bilang kata-kata negatif harus bisa menjadi cambuk untuk menapak lebih tinggi. Hmm, lihat saja apakah ini hanya sebuah mimpi yang yang akan tergilas oleh waktu, atau termasuk salah satu mimpi yang akan jadi kenyataan. Wuaaah, yang penting endingnya tetap happily ever after :)

Help! I Lose My English

Sekian lama menjadi guru Bahasa Inggris sekolah menegah membuat saya jadi ikut-ikutan aneh, secara penggunaan bahasa Inggris di kelas sangat terbatas. Ini yang namanya gaul dengan tukang minyak wangi jadi wangi, gaul dengan tukang jual kambing jadi ikutan bau. Weh, saya sudah berupaya (mungkin tidak maksimal) untuk menjaga bahasa yang satu ini tetap awet di pikiran dan hati saya...huft, but lagi tidak mudah kawan. Sebuah bahasa bisa dengan mudah hilang jika tidak digunakan dalam interaksi sehari-hari kecuali bahasa ibu nampaknya.

Seperti pagi ini, saya diharuskan mengirim email pada instansi berbahasa inggris yang jelas-jelas tidak mengerti bahasa Indonesia. Gubrak, dari mulai mau nulis saja saya sudah bingung apalagi pas sampai pada basa basi, hingga kalimat-kalimat formal yang jauh dari alay yang biasanya saya pakai dengan teman-teman di sms atau jejaring sosial.


Well, terlintas di pikiran bagaimana kalau saya bekerja puluhan tahun disini, jangan-jangan cuma bisa bikin kalimat sederhana ala anak SMP atau ngomong jadi ikutan mentat mentut ga jelas. Saya tahu ini terdengar seperti saya terlalu berpikir sempit, namun this is happening. I am afraid I can't cope with this thing.

Thursday, June 13, 2013

Rantau 1 Muara

Meski sudah mencoba berpindah genre, alih-alih terlanjur sayang dengan novel (sekali), saya masih tetap cinta dengan novel yang mencampur memoar dengan sedikit bumbu. Sederet novel yang berkisah tentang perjalanan hidup, sekolah ke luar negeri atau pencarian cinta serta jati diri terus saja menjadi referensi tiap kali saya ingin membeli novel baru.

Rantau 1 Muara buku ketiga dari trilogi yang diciptakan A. Fuadi menjadi pilihan bacaan saya minggu ini. Meski saya banyak membaca buku, tetap saja saya tidak bisa menobatkan diri sebagai pembaca yang baik, terbukti hingga saat ini saya masih belum menulis dengan baik serta tidak mudah untuk bisa menjadi tukang kritik atau tukang resensi sebuah buku.



Kisahnya masih sama dengan negeri 5 menara, tokoh utamanya adalah Alif versi 25 tahunan yang baru menyelesaikan kuliah di Bandung. Tokoh Alif disini lebih dihadapkan pada persoalan umum ala orang dewasa yakni berkisar tentang mencari kerja sekaligus menegaskan tujuan hidup.

Selain Randai, teman kecil Alif yang menjadi saingan berat dalam fastabiqul khairat, nama-nama yang muncul dalam buku ketiga ini tergolong baru. Alif awalnya merasa tidak perlu terburu-buru mencari pekerjaan karena merasa (sombong) dirinya bisa menyelesaikan kuliah sambil mengirim tulisan ke beberapa media lokal. Konflik batin mulai muncul saat kantor tempatnya menulis mendadak harus mengurangi pegawai karena krisis moneter. Setting waktu pada tahun 1998 memberi saya kilasan ulang akan apa yang terjadi saat pengalihan tahta dan kekuasaan Presiden Suharto. Alif tidak banyak terlibat untuk hal politik ini atau setidaknya disini tidak disebutkan detail.

Himpitan ekonomi membuat Alif jungkir balik harus segera menetapkan diri bekerja dengan janji kehidupan finansial yang lebih menjamin. Selain untuk kehidupannya pribadi, Alif juga harus membantu amak dan adik-adiknya bersekolah di kampuang nan jao dimato. Setelah gagal memasuki instansi pemerintah yang sesuai dengan kualifikasinya yakni hubungan internasional, Alif memutuskan untuk bekerja di media yang selama ini sudah dimulainya. Saya suka peperangan batin saat Alif dalam situasi mencari pekerjaan yang sesuai idealisme (sangat sulit pada masa itu), penolakan dari berbagai perusahaan, tantangan Randai yang telah mendahuluinya menjadi pegawai IPTN serta tantangan untuk melanjutkan sekolah ke Amerika atau Eropa.

Yang tak kalah menarik adalah awal masa kerja Alif di Jakarta di kantor berita Derap. Disini muncul tokoh-tokoh unik dan keren menurut saya, Mas Aji, Malaka, Pasus dan rekan-rekan kerjanya yang dinamis. Gambaran bagaimana Alif dan Pasus akhirnya mendapat gelar doktor alias mondok di kantor membuat saya bersyukur dengan kehidupan saya sendiri. Suasana kantor Derap membuat saya iri, bagaimana tidak semua orang dipacu untuk menghasilkan kinerja yang jujur, luar biasa, dan profesional. Alif juga galau disini, merasa bahwa pekerjaan yang ia pilih tak sesuai passion, kemudian ingin pula bekerja di tempat lain yang secara finansial lebih tinggi. Bekerja di Derap mengharuskan semua stafnya anti korupsi dan anti suap.

Cerita makin menawan saat Alif pertama kali bertemu Dinara. Layaknya "imprint" yang dialami Jacob pada Renesmee di sekuel Twilight, Alif mulai sulit mendefinisikan apa yang dirasakan pada wanita pemilik mata indah tersebut. Debar-debar ini sempat terhenti karena Alif merasa tidak setara dengan Dinara yang cantik, aktif, lulusan komunikasi UI, serta anak gaul Jakarta. Keduanya hanya larak lirik dan berbincang kadang-kadang hingga akhirnya Alif memperoleh beasiswa ke Amerika. Perjuangan beasiswanya juga seru, selalu seru dalam poin ini (bagi saya). Tak ingin Dinara menunggu terlalu lama atau hilang karena impiannya bersekolah di London, Alif bersegera melamar. Sempat alot karena bapak Dinara tidak setuju sama sekali. Setelah berdialog, bertaruh diri memperjuangkan wanita idamannya, Alif memboyong Dinara ke Amerika.

Cerita berlanjut dengan sulitnya kehidupan awal pernikahan di negeri orang, tentang keluarga baru, masalah-masalah baru disana hingga kembali ke Indonesia.

Novel ini bagus meski di beberapa bagian saya merasa`bahasa yang digunakan tidak mirip lagi dengan bahasa seorang A.Fuadi. Terlepas dari hal tersebut, it's highly recommended to be read.

Tuesday, June 11, 2013

Dilema e-KTP

Hari ini jadwal pengambilan e-KTP untukku dan beberapa tetangga, tidak smua, tidak tahu bagaimana urutan acak pengambilan KTP ini dilakukan. Saya malah tidak pernah terpikir lagi dengan benda ini karena saking lamanya. Seingat saya, pembuatan KTP ini berlangsung sekitar setahun silam atau malah lebih.

Setelah antri lagi (tentu saja), saya menemukan KTP lucu layaknya kartu ATM. Itu saja yang membuatnya lucu, ia keras, punya semacam barkode untuk akses macam-macam nampaknya. Sepanjang antri beragam diskusi kecil dilakukan oleh para penduduk Indonesia yang baik ini (karena peduli pada KTP). Tentang lamanya proses pembuatan, yang tentu saja mengalahkan pembuatan KTP manual yang hanya beberapa hari, juga tentang KTP yang tak boleh di fotokopi. Saya pernah mendengar juga membaca tentang hal ini. Ada yang bilang tak boleh diperbanyak sama sekali, ada yang bilang boleh asal yang sering nanti merusak semacam chip yang ada dalam kartu ini.

Salah seorang bapak di kantor kecamatan itu meluruskan dengan mengatakan semestinya tiap instansi pemerintah punya alat yang bisa membaca kartu ini jadi tak diperlukan yang namanya fotokopi. Yaaah tapi itu semestinya, hingga sekarang bukannya beragam administrasi memerlukan fotokopi KTP untuk memperjelas identitas.

Sayang sekali jika kartu yang sudah dilengkapi penghubung ke database pusat ini malah menjadi pajangan unik saja di dompet yang fungsinya sama persis dengan KTP manual.

Wednesday, June 5, 2013

Menjadi Hakim

Waktu kuliah teman saya pernah dengan lantang mengatakan bahwa ia tak akan pernah mau memilih profesi hakim, berat katanya. Selain harus menghafal KUHP dan banyak UU, PP, dan sejenis itu, profesi ini dekat sekali dengan dosa katanya. Hehe, saya tersenyum saja, bertindak adil yang seadil-adilnya itu memang sangat sulit.

Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari, saya sering menemukan manusia pada umumnya bisa dengan mudah menjadi hakim bagi orang lain, menghakimi seseorang atas apa yang ia lakukan. Menganggapnya baik se jagad saat diperlakukan dengan anggun atau pun bisa langsung dengan mudah mengatakan ia orang jahat karena diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.

Yang paling tidak mengenakan tentu saja saat berada di posisi tertuduh, bersalah. Sekali bersalah saja, orang bisa dengan mudah menghakimi seseorang itu negatif yang harus segera dimasukkan ke dalam list hitam interaksi sosial misalnya. Ah, jahat sekali. Sekali salah kemudian ia bisa dengan mudah dianggap terus bersalah untuk setiap lakunya, tindak tanduknya. Kadang, saya berpikir, jangan-jangan seseorang yang sering berbuat jahat itu menjadi demikian karena stempel yang ditempelkan pada namanya. Singkatnya sekali ia bersalah, lantas tidak dipercayai, orang tersebut menjadi persis seperti apa yang dikatakan para hakim di sekitarnya.

Benarlah menjadi hakim bukanlah hal yang tepat jika kita belum bisa adil, objektif dalam menilai sesuatu atau seseorang apalagi jika hanya mengenal mereka sebatas kulit. Alangkah sadisnya jika ketidakpercayaan ataukah perkataan-perkataan menghakimi kita menjadikan seseorang pribadi yang kian buruk. Be wise.