Allah Maha Baik

Thursday, June 13, 2013

Rantau 1 Muara

Meski sudah mencoba berpindah genre, alih-alih terlanjur sayang dengan novel (sekali), saya masih tetap cinta dengan novel yang mencampur memoar dengan sedikit bumbu. Sederet novel yang berkisah tentang perjalanan hidup, sekolah ke luar negeri atau pencarian cinta serta jati diri terus saja menjadi referensi tiap kali saya ingin membeli novel baru.

Rantau 1 Muara buku ketiga dari trilogi yang diciptakan A. Fuadi menjadi pilihan bacaan saya minggu ini. Meski saya banyak membaca buku, tetap saja saya tidak bisa menobatkan diri sebagai pembaca yang baik, terbukti hingga saat ini saya masih belum menulis dengan baik serta tidak mudah untuk bisa menjadi tukang kritik atau tukang resensi sebuah buku.



Kisahnya masih sama dengan negeri 5 menara, tokoh utamanya adalah Alif versi 25 tahunan yang baru menyelesaikan kuliah di Bandung. Tokoh Alif disini lebih dihadapkan pada persoalan umum ala orang dewasa yakni berkisar tentang mencari kerja sekaligus menegaskan tujuan hidup.

Selain Randai, teman kecil Alif yang menjadi saingan berat dalam fastabiqul khairat, nama-nama yang muncul dalam buku ketiga ini tergolong baru. Alif awalnya merasa tidak perlu terburu-buru mencari pekerjaan karena merasa (sombong) dirinya bisa menyelesaikan kuliah sambil mengirim tulisan ke beberapa media lokal. Konflik batin mulai muncul saat kantor tempatnya menulis mendadak harus mengurangi pegawai karena krisis moneter. Setting waktu pada tahun 1998 memberi saya kilasan ulang akan apa yang terjadi saat pengalihan tahta dan kekuasaan Presiden Suharto. Alif tidak banyak terlibat untuk hal politik ini atau setidaknya disini tidak disebutkan detail.

Himpitan ekonomi membuat Alif jungkir balik harus segera menetapkan diri bekerja dengan janji kehidupan finansial yang lebih menjamin. Selain untuk kehidupannya pribadi, Alif juga harus membantu amak dan adik-adiknya bersekolah di kampuang nan jao dimato. Setelah gagal memasuki instansi pemerintah yang sesuai dengan kualifikasinya yakni hubungan internasional, Alif memutuskan untuk bekerja di media yang selama ini sudah dimulainya. Saya suka peperangan batin saat Alif dalam situasi mencari pekerjaan yang sesuai idealisme (sangat sulit pada masa itu), penolakan dari berbagai perusahaan, tantangan Randai yang telah mendahuluinya menjadi pegawai IPTN serta tantangan untuk melanjutkan sekolah ke Amerika atau Eropa.

Yang tak kalah menarik adalah awal masa kerja Alif di Jakarta di kantor berita Derap. Disini muncul tokoh-tokoh unik dan keren menurut saya, Mas Aji, Malaka, Pasus dan rekan-rekan kerjanya yang dinamis. Gambaran bagaimana Alif dan Pasus akhirnya mendapat gelar doktor alias mondok di kantor membuat saya bersyukur dengan kehidupan saya sendiri. Suasana kantor Derap membuat saya iri, bagaimana tidak semua orang dipacu untuk menghasilkan kinerja yang jujur, luar biasa, dan profesional. Alif juga galau disini, merasa bahwa pekerjaan yang ia pilih tak sesuai passion, kemudian ingin pula bekerja di tempat lain yang secara finansial lebih tinggi. Bekerja di Derap mengharuskan semua stafnya anti korupsi dan anti suap.

Cerita makin menawan saat Alif pertama kali bertemu Dinara. Layaknya "imprint" yang dialami Jacob pada Renesmee di sekuel Twilight, Alif mulai sulit mendefinisikan apa yang dirasakan pada wanita pemilik mata indah tersebut. Debar-debar ini sempat terhenti karena Alif merasa tidak setara dengan Dinara yang cantik, aktif, lulusan komunikasi UI, serta anak gaul Jakarta. Keduanya hanya larak lirik dan berbincang kadang-kadang hingga akhirnya Alif memperoleh beasiswa ke Amerika. Perjuangan beasiswanya juga seru, selalu seru dalam poin ini (bagi saya). Tak ingin Dinara menunggu terlalu lama atau hilang karena impiannya bersekolah di London, Alif bersegera melamar. Sempat alot karena bapak Dinara tidak setuju sama sekali. Setelah berdialog, bertaruh diri memperjuangkan wanita idamannya, Alif memboyong Dinara ke Amerika.

Cerita berlanjut dengan sulitnya kehidupan awal pernikahan di negeri orang, tentang keluarga baru, masalah-masalah baru disana hingga kembali ke Indonesia.

Novel ini bagus meski di beberapa bagian saya merasa`bahasa yang digunakan tidak mirip lagi dengan bahasa seorang A.Fuadi. Terlepas dari hal tersebut, it's highly recommended to be read.

No comments:

Post a Comment