Allah Maha Baik

Saturday, February 1, 2014

Welcome February

...

I succeded not to write a lot last month, since my mind, mood, and everything looked so hectic.
Beberapa hari ini berpikir lagi, panjang, dalam. Entahkah kehidupan terasa mudah dilalui atau sulit penuh getar-getar menantang juga membingungkan, tetap saja ada titik dimana jenuh atau bosan menyerang. Tidak selalu tentang rutinitas, tapi juga tentang lepas nya tujuan kehidupan itu sendiri.

Sabtu selalu menyenangkan karena kegiatan khusus berupa amalan-amalan pengingat Tuhan dilaksanakan. "Ingat padaku agar hatimu tenang", katanya. Perintah singkat ini terdengar bercanda, terdengan sering digemakan, tapi sulit dilakukan. Mengapalah manusia suka bertindak rumit? Padahal menjadi tenang sebenarnya perkara murah dan mudah. Manusia bisa saja melakukan hal-hal ringan nan mudah untuk menuju ketenangan jiwa, tapi tetap saja memilih hal mahal dan glamor yang tentu saja, ntah disadari atau tidak, membuat hati jauh dari rasa tenang. Berkaitan dengan jenuh tadi, saya yakin jika cara-cara mudah murah tadi dilakukan akan sulit sekali rasa bosan nan jenuh menyusup kedalam hati. Jika di pikir-pikir alangkah ringan nya perintah sholat, tinggal sholat saja tepat waktunya, apalagi jika dilakukan berjamaah, perintah tertunai, damai datang sebagai bonus. Tapi lihat, betapa malas dengan mudah menjadikan perkara ringan tadi menjadi rumit. Manusia dengan mudahnya berkilah, membuat serentetan alasan untuk menunda bahkan tidak melaksanakan perintah. Padahal jalan menuju surga itu murah, bukan? Tidak ada yang meminta bayaran atas amalan apapun yang ingin dilakukan. Coba pikirkan kegiatan-kegiatan mahal yang dilakukan, apa iya jalan tersebut membawa ketenangan? Misal merokok, saya akhir-akhir ini berulang kali ngomel dengan kebiasaan mahal yang satu ini. Kebiasaan yang jelas membuat kantong menipis, kesehatan menurun, dan membawa keburukan bagi lingkungan sekitar. Ntahlah, apapun alasannya, menjadi buruk dan memilih jalan yang tidak sesuai dengan aturan terasa lebih ringan. Badai malas melanda setiap harinya, membisiki diri untuk menunda, hingga lama-lama menjadi terbiasa melalaikan kebaikan apapun bentuknya.

Pagi ini saya dipertemukan tidak sengaja lagi dengan selebaran yang isinya mirip apa yang tertempel dikamar orang tua saya. Rupanya kalimat-kalimat ini merupakan cerita lama dari Imam Al-Ghozali dengan murid-muridnya. Suatu hari beliau berkumpul dengan murid-muridnya, lalu bertanya:
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali lalu menjelaskan semua jawaban itu benar, tetapi yang paling dekat dengan manusia adalah kematian. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (3: 185).

Pertanyaan berikutnya yang beliau ajukan ialah, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"
Beragam jawaban pun muncul, matahari, bintang, negara-negara yang jauh seperti Cina, dan lain-lain. Lagi, beliau menyatakan betapa jawaban mereka benar, tapi yang paling jauh adalah masa lalu. Apapun yang kita lalukan, apapun pilihan kita tentang banyak hal di dunia ini, masa lalu adalah hal paling jauh yang tak terjangkau. Lihatlah, bahkan kejadian pagi tadi pun tidak bisa diulang kembali. Setiap saat berlalu begitu cepat, alangkah ruginya jika diisi dengan hal-hal bodoh dan menjauhkan diri dari ketenangan.

Lalu, imam Ghozali bertanya kembali, "Apa yang besar di dunia ini?"
Ada yang menjawab gunung, samudera, bumi, matahari dan benda-benda lain yang besar. Imam Ghozali menerangkan bahwa yang paling besar adalah nafsu. 
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (7:179)  

Pertanyaan keempat adalah "Apa yang paling berat di dunia ini?"
Jawabannya adalah memegang amanah. 
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (33:72)

Pertanyaan selanjutnya "Apa yang paling ringan di dunia ini?"
Jawabannya adalah meninggalkan sholat. Nah, menyambung preambule diatas, betapa kita dengan mudahnya menyebutkan ribuan alasan demi meninggalkan beberapa menit sholat yang sebenarnya jika di pikir-pikir tidak memberatkan sama sekali. Alasan-alasan seperti capek saat isya, tanggung masih bekerja atau rapat untuk zuhur, ketiduran saat asar, atau malas bangun, dingin untuk subuh, serta masih dijalan atau ntahlah untuk magrib. Selalu lebih mudah membuat alasan daripada melakukan perintah. Pengalaman saya jika memberi tugas juga begitu. Ada bejibun alasan klise untuk menutupi rasa tidak mau, rasa tidak peduli. 

Dan yang terakhir, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"
Jawaban beliau bukan pedang yang dibuat dengan bahan terbaik, namun lidah, lidah manusia. Karena lewat lidah, manusia bisa saling membunuh, bahkan meletuslah perang. Karena lidah, manusia bisa merusak apa yang baik, dan karena lidah manusia bisa hancur.

Titik jenuh alias kebosanan terhadap beragam hal dalam hidup membuat saya berpikir kadang menjadi seorang manusia bisa saja mudah, sekaligus rumit. Yang jelas menjadi manusia yang sia-sia bukanlah pilihan yang bijak. 

*another chapter of contemplation







No comments:

Post a Comment