Allah Maha Baik

Friday, May 17, 2013

Aku Suka "TERE LIYE"

Aku tak pernah berniat memutuskan hubungan baikku dengan membaca. I have built this habit and I won't easily let it go. Meski selera buku bacaanku menurutku rumit dan tak tertebak. Minggu ini aku bisa saja kembali ke buku-buku pebuh intrik, bermacam kode rahasia, seperti kisah Da Vinci Code atau Juliet, minggu depan aku berbalik kembali dengan buku-buku tebal bersampul indah tentang perjuangan Aisyah, tentang menjadi Istri yang baik, tentang menjalankan hidup dengan benar, lalu aku bisa dengan mudah berbalik hati menuju memoar yang membangun semangatku tetap berada di jalan ini atau novel penggugah hati berisi pesan-pesan isyarat yang tampak biasa tapi jika direnungkan sungguh tak mudah melaksanakannya.

Aku telah lama berkenalan dengan penulis ini, setahun lalu kurasa tapi dengan gayaku yang cuek terhadap penulis baru, atau aku tak ambil peduli. Buku pertama yang kubaca membuatku menangis tersuruk-suruk, belajar tentang pengorbanan seorang Tegar, penerimaannya terhadap sebentuk cinta Rosie dan Nathan, dan beragam pelajaran kekuatan menjalani hidup. Buku Senja Bersama Rosie ini tetap menjadi favoritku dari sederatan buku Tere Liye yang pernah kubaca.

Buku kedua yang kubaca, Hapalan Sholat Delisa, membuatku berpikir betapa anak kecil lebih mudah memaafkan, lebih mudah menerima, ah lagi-lagi tentang penerimaan terhadap takdir yang terjadi, terhadap pilihan tak terelakkan. Betapa anak kecil seringkali mengjarkan kepada kita bagaimana mencintai hidup meski hanya dengan satu kaki, meski tanpa ibu. Aku suka, meski aku cenderung terlalu membandingkan jika sebuah buku telah dijadikan film, kadang membuatku tak fokus.

Buku ketiga, lagi membuatku menangis tersuru-suruk lama di depan meja, hingga tak minat makan, tiba-tiba kenyang. Membaca dan membayangkan selaksa cinta yang dimiliki Laisa untuk keempat adik (tirinya), untuk apapun yang ia persembahkan terhadap hidup, juga untuk mensyukuri setiap jengkal kisah yang dipilihkan hidup untuknya. Tak pernah kutemukan sosok wanita begini berhati putih, teramat putih jauh dari fisiknya yang berbeda yang membuatknya tak mendapatkan kesempatan untuk mendapat pendamping di dunia karena alasan ia terlalu mencolok dan tidak cantik. Tak hanya tokoh Laisa membuatku tergila-gila hingga berpikir lama tentang hidupku sendiri, Dalimunte, dan ketiga adiknya juga memberikan rasa kasih sayang yang jarang dimiliki orang-orang saat ini terhadap saudara mereka. Buku Bidadari-bidadari Surga mendapat tempat dihatiku setelah kisah Tegar dan Rosie.

Tak kalah menariknya aku menemukan Rembulan Tenggelam di Matamu tanpa sengaja, tanpa minat khusus hingga dipertemukan dengan sosok Raihan, Ray. Kisah panjang hidup seorang lelaki tak biasa, yang menentang apapun yang diberikan hidup, yang selalu berontak. Bahwa hidup adalah sebuah sebab-akibat, apapun yang kita lakukan akan berdampak pada hidup orang lain juga berbalik ke hidup kita sendiri. Ray yang memasuki dunia hitam setelah beragam kejadian yang ternyata membuat hidup orang disekitarnya, yang dibncinya, berbalik arah menuju Tuhan. Seorang Ray yang hanya kenal cinta sekali, menerima istrinya yang penuh latar belakang kelabu, mencintai dan mengajaknya ke jenjang komitmen tertinggi dengan tulus namun harus rela menyerahkan istrinya yang penuh totalitas memperbaiki masa lalu kelamnya dengan memberikan hidupnya pada sang suami, yang meninggal dalam kondisi sangat bersahaja. Ray yang mendapat kesempatan mendapat jawaban dari setiap pertanyaan rumit yang ia tanyakan sejak kecil. Ray yang menjalani masa tua bergelimang materi dan impian terwujud namun hatinya kosong. Ah, ceritanya manusia sekali.

Berikutnya satu buku numpang baca alias minjam, Moga Bunda Disayang Allah. Aku sempat tertarik di awal tapi langsung teringat cerita lain yang pernah kubaca. Ternyata buku ini memang mengangkat topik yang sama dari buku yang kubaca, kisah hidup Hellen Keller yang malang tapi wanita hebat itu. Kisah yang mengambil inspirasi dari buku tersebut juga bagus meski aku orang yang tak suka perbandingan seperti ini. Tapi tetap banyak yang bisa dipelajari tentang cinta ibu-anak, tentang pemaafan masa lalu yang sulit, tentang kesabaran menunggu.

Nah, hari ini aku membaca salah bukunya yang lain kali ini, lagi, tentang cinta yang tak biasa, kukatakan padamu tak ada kisah cinta yang biasa, semua punya caranya masing-masing, semua bolehlah dibilang melahirkan perasaan indah meski itu cinta sepihak, cinta tak terucap atau apapun jenis cinta ini. Adalah Borno, pemuda biasa yang menemukan cinta tiba-tiba. Kata Pak Tua, cinta selalu punya caranya sendiri, entah itu namanya takdir, kebetulan, atau apapun itu akan mempertemukan kedua orang yang jatuh cinta meski kadang tampak tak logis, meski sering juga manusia lebih sering tak sabar merancang sendiri cara cintanya bekerja. Kata Pak Tua lagi cinta itu diwujudkan dalam perbuatan, jika masih bertengger pada kata-kata ia belum bisa disebut cinta. Cinta itu sederhana, ingin memuliakan pelakunya jika dijalankan dengan cara yang mulia pula. Pemuda berhati lurus ini sekali menemukan cinta tak dapat memalingkan hati meski berkali-kali ditinggalkan, diabaikan tanpa penjelasan. Dulu aku sempat berpikir bahwa laki-laki itu begitu, pun wanita juga. Ternyata aku salah, cinta model apik begini hanya ada di novel, film drama Korea, juga film India. Cinta sekarang, atau mungkin sebut saja pelaku cinta sekarang lebih realistis. Kupikir endingnya akan sedih, sesedih Rome Juliet, lagi-lagi karena di halaman-halaman akhir sang perempuan si Sendu Menawan sakit parah ternyata tidak, kurasa penulis tidak sesadis itu. 

Aku suka penulis ini, setidaknya saat ini, banyak yang bilang tulisan-tulisannya sederhana dan ya sangat sederhana sebenarnya, tapi dari kesederhanaan itulah terselip ketulusan pesan yang ingin disampaikan. Akan berburu novel-novel beliau ini saat keberanian untuk melanjutkan perjalanan menapaki bumi Allah ini kembali. 


No comments:

Post a Comment