Allah Maha Baik

Saturday, May 25, 2013

Galau itu Bernama "Sendiri"

“Tahajud, nia. Bersyukur atas rahmat yang dilimpahkan Allah padamu hingga usia 35 tahun ini. Doa ibu selalu bersamamu.”
Sebuah sms membangunkan tidurku tepat pukul tiga pagi. Untuk kesekian kalinya aku tak bisa tersenyum saat ulang tahunku tiba. Bukan, bukan karena minimnya ucapan atau hadiah pada hari ini. Semua lengkap, semua masih sama dan disitulah letak kurangnya. Sejak sepuluh tahun silam, aku deg-degan menyambut hari bertambah tuanya diriku, karena satu keinginan yang tak kunjung tiba.
Aku tak tahu, kurasa ketidaknyamanan yang melandaku, kian bertambah kian hari, disebabkan oleh kurangnya diri ini bersyukur. Manusia cenderung menghitung dan mengingat apa yang belum didapat dan mengabaikan pencapaian apapun yang telah dianugerahkan Tuhan. Begitupun aku. Kurasa aku cukup mapan dalam memahami teori ini, namun sejak sepuluh tahun silam, sejak lamaran yang dinanti-nanti tak kunjung datang, aku tanpa sengaja dan akhirnya mendoktrin diri dengan kurangnya satu poin ini dalam kehidupanku.
Tania Florensia. Tak ada yang tak mengenalku saat kuliah hingga bekerja. Aku tak hanya menyelesaikan pendidikan akademikku dengan gemilang tapi juga membuktikan diri dengan karir yang kucapai. Dari segi fisik, tak ada yang menilaiku buruk. Aku dikenal aktif beragam organisasi, terlibat ini itu. Keluargaku sempurna, dilipahi kasih sayang juga kecukupan materi. Aku juga punya banyak sahabat, tak hanya di dunia nyata, tapi juga yang jaraknya ribuan mil di seberang sana. Aku selalu ceria. Bukankah hidup terlalu singkat jika harus diisi dengan menyakiti diri sendiri?
Hingga usiaku 25, aku mulai cemas karena aku sangat membatasi diri bergaul dengan pria. Aku punya banyak teman, tapi hanya berhenti disitu. Pernah salah seorang teman berbicara saat reuni betapa ia menyesal telah menyia-nyiakan masa kuliahnya dengan mendekati banyak wanita dan ingin sepertiku, aku malah menjawab sebaliknya. Mungkin aku harusnya tidak membatasi diri hingga aku bisa menikah tepat pada waktunya sepertimu. Temanku tersenyum kecut.
Sejak itu, aku mulai harap-harap cemas menanti. Bukankah matahari tak pernah ingkar janji? Apalagi penciptanya yang telah berjanji memberikan pasangan pada setiap makhluknya. Aku setia pada janji itu. Aku menunggu, masih sangat berpegang pada prinsip, masih sangat yakin. Tapi hari ini, di usiaku yang setua ini, teman-teman seangkatanku sudah punya anak dua hingga tiga. Gundah, gulana, galau, atau apapun itu datang setiap harinya, tak terbendung. Aku sering menangisi diriku sendiri. Menangisi nikmat yang tak kunjung bisa kuraih karena untuk itu aku tak bisa mengandalkan kekuatan sendiri. Ada banyak pihak yang terlibat, ada yang harus terlibat. Aku tetap berbaik sangka, meski hati ini, hati ini remuk.

Aku yakin tidak ada wanita mungkin juga pria yang menyukai ide menghabiskan hidupnya sendiri meski pada faktanya banyak juga yang berakhir demikian. Tapi aku, aku bukan bagian dari mereka. Aku ingin hidup yang bahagia, meski ada juga yang bilang kebahagiaan tidak melulu soal menikah dan berkeluarga. Aku hanya ingin hidup normal, seperti orang lain pada umumnya.

1 comment:

  1. Judul-judul tulisan di dalam blog ini:
    ".... bernama ...."

    ReplyDelete