Allah Maha Baik

Monday, October 20, 2014

Rindu

Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah. Bagaimana mungkin kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun.
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu, hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.

Salah satu potongan menarik yang saya ambil dari novel yang baru khatam dibaca sejak semalam. Butuh perjuangan untuk kembali membaca, dengan perut gendut yang mudah sekali lelah pada posisi tertentu, tentulah saya harus berusaha agar tetap bisa melanjutkan bacaan dalam kondisi nyaman sebelum beragam keluhan muncul. Sudah sejak lama saya ingin sekali menemukan, membeli atau mengkoleksi novel layak baca, setelah hunting kemana-mana dan menyimpulkan sekenanya bahwa enough for this time, beberapa kali membeli novel yang langsung saya lempar setelah membaca selembar dua, not interesting, too easy, predictable.

Setelah semalam melirik sepintas lalu, hampir tidak tertarik dengan novel bersampul putih tanpa gambar berjudul besar dengan nama penulis yang sempat singgah di hati saya begitu lama. Namun beberapa novel barunya tidak membuat saya jatuh cinta. Selalu, saya akan membaca ringkasan di belakang sampul, menebak-nebak kemana arah buku setebal 544 halaman ini. 

Mulanya saya pikir, buku ini akan membahas kejadian kecelakaan kapal besar atau setidaknya ceritanya akan memiliki alur mirip dengan "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" yang "baru" ditemukan banyak orang padahal sudah begitu lama di tulis, atau masih berkisar cinta namun tidak se vulgar karya NH Dini yang juga mengambil setting kapal. Hmm, mungkin bisa se tragis Titanic, hehe. Alur cerita yang di mulai dengan kesibukan kapal serta setting yang di ambil di tahun amat sangat jadul membimbing saya pada kesimpulan tadi. Biasanya kalau bosan, saya akan loncat ke bagian tengah cerita, lalu ke belakang langsung kemudian akhirnya menumpuk buku di rak yang sudah kepenuhan :D. Namun novel ini cukup membuat saya tertarik dalam jangka panjang. Meski baru selesai beberapa menit lalu, rekor, karena sudah dimulai semalam (saya tidak pernah bisa menahan diri menghabiskan buku bagus, apapun jenisnya). 

Alur cerita dimulai dengan pengenalan tokoh yang tidak biasa. Di awal sempat menduga bahwa tokoh utama hanya akan ada satu atau dua yang terikat perasaan cinta, rindu tak terbendung, kasih tak sampai. Namun, saya suka mengetahui bahwa saya salah, tokoh di sini bukan hanya ada satu atau dua tapi beberapa. Sebutlah keluarga Daeng Andipati dengan kedua anak gadis yang sering menjadi sentral cerita (Anna yang selalu ingin tahu dan Elsa), Gurutta (Ahmad Karaeng, seorang ulama besar juga dari Makassar), Ambo (yang saya pikir akan disoroti sendiri tentang kisah cinta dan hidupnya), Bonda Upe, Mbah Kakung juga beberapa detil kecil tentang Ruben, Chef, Kapten Phillips dan lainnya. Saya pikir jika ingin menulis tentang kisah banyak tokoh, maka ada baiknya dipilah satu satu atau dijadikan bab berbeda, namun di sini semua dijalin dalam satu cerita yang menggugah minat. Kisah hidup masing-masing tokoh tepatnya pertanyaan-pertanyaan hidup yang menggelayut menjadi beban hidup tokoh seolah menggambarkan lebih jelas dari pengantar perkenalan biasa. Saya suka cara ini. 

Sebenarnya latar belakang cerita di kapal membuat beberapa kejadian harus di ulang, apalagi ini perjalanan panjang menuju Baitullah hingga rutinitas di kapal menjadi sorotan. Riak-riak konflik muncul di beberapa bagian. Sempat ingin melewatkan bagian monoton ini tapi tetap takut ketinggan cukilan cerita menarik.

Yang saya selalu suka dari beberapa karya Tere Liye, selain bahasanya yang membumi alias mudah di cerna, sederhana, biasa saja, tidak terlalu nyastra, tidak pula berlewah, juga pesan yang ingin disampaikan melalui cerita disampaikan dengan apik dan tertata. Perlu pengalaman hidup atau setidaknya perlu membaca banyak hikmah hingga mampu menyampaikan pesan kehidupan dengan yakin. Karena seringkali kita sebenarnya tidak yakin dengan apa yang kita sampaikan meski di orang lain terdengar sangat meyakinkan. 

Meski saya bukan penggila sejarah, yang sepertinya bisa dibodohi jika ada kesalahan tahun atau nama pejuang lama, cerita dalam novel ini memerlukan riset yang cukup banyak. Ada banyak nama dari perjuangan kemerdekaan yang belum pernah saya dengar dari buku sejarah lama, ada banyak pengetahuan tentang semesta yang saya yakin harus diambil dari ensiklopedia tebal tentang laut dan isinya, migrasi hewan, jenis ikan, dan sejenis itu. Juga tempat-tempat bersejarah yang sepertinya beberapa saat ini sudah berubah total menjadi sesuatu yang berbeda seperti Batavia, Semarang dan Surabaya tempoe doloe, Sri Lanka juga pengetahuan tentang seluk beluk kapal serta setiap detillnya. Saya rasa penulis kali ini serius mencemplungkan diri ke dalam sesuatu yang berbeda rasa dari sebelumnya. Saya juga menemukan pesan yang disampaikan punya taste berbeda dari buku-buku terdahulu yang rata-rata mirip.

Setiap kita punya banyak pertanyaan untuk di jawab selama hidup, meski ada yang langsung terjawab dan ada pula yang tak pernah menemukan jawaban. Tapi hidup tentu harus terus berjalan bukan? Berminat untuk tenggelam dalam kisah "rindu" yang berbeda? Mendapati ending yang tak terduga, novel ini saya rekomendasikan untuk di baca :) Happy Reading.



No comments:

Post a Comment