Aku selalu suka pohon rindang, yang bersahabat, membuat sejuk dikala gundah, membuat lega disaat gerah, membuat tenang dan nyaman juga melindungi dari amuk badai disaat apapun.
Dulu, pohon itu ada disana, menjadi rumah kedua, malah bisa jadi rumah pertama karena di pohon itu tempat segala muara hari-hariku berlabuh. Disana, aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa harus ada dusta agar terlihat lebih indah, atau apalah namanya. Satu hal yang pasti ia tak akan pernah berubah menjadi monster karena kesalahan kecilku, ia diam mendengarkan, jika ia bisa bicara ia bak seorang ibu yang memberi nasihat bijak, memberi pandangan hingga anaknya tidak salah langkah dalam pilihan hidupnya. Ia selalu menjadi tempat berlabuh yang meneduhkan. Tak pernah ia membuat luka, ah bagaimanapun ia hanya sebatang pohon tua yang rindang. Sehingga respon apapun yang dibuatnya mampu membuat gundah terbang entah kemana, melihatnya saja hati sudah riang kembali.
Pohon ditanam dengan tujuan itu, hadirnya diharapkan dapat mengambil sosok ayah yang melindungi dari panas sinar matahari yang menyengat. Tapi, musim berubah. Layaknya cinta manusia yang tidak pernah kekal, pohon itu pun seolah hilang, tidak seutuhnya karena ia masih berdiri kokoh disana. Tapi aku tidak menemukan kesejukan yang sama, aku tak mendapati "rumah" yang sama. Ia menjadi arogan, apakah karena musim membuat semua kebaikannya meranggas? Ia menjadi dingin hingga tidak enak untuk dijadikan tempat berteduh apalagi melepas gundah gulana, malah ia pencipta gundah bagi orang yang mendekatinya. Aku tidak bisa jauh darinya karena seolah kebersamaan sebelumnya adalah pengikat tak kasat mata, belum lagi ia juga tumbuh disekitarku. Kemana perginya ia? Aku tak menginginkan wujudnya saja, tapi juga kasih sayangnya. Kasih yang mengajarkan bahwa ikatan tak bisa dimulai dengan kebohongan, meski kecil dusta akan membawa celaka. Keteduhan yang mengajarkan bahwa ia layak menjadi sandaran di musim apapun yang menentang.
*Autumn 2014, segalanya berguguran.
No comments:
Post a Comment