Perjalanan kemarin membawaku pada kesimpulan bahwa banyak rakyat Indonesia yang bisa dikatakan tuan rumah menjadi buruh di negerinya yang kaya ini.
Sepanjang jalan yang kulihat adalah pohon-pohon sawit yang jika kuperkirakan dengan ilmu kira-kira sudah berusia puluhan tahun, tampak dari pohon-pohon yang tinggi menjulang serta beberapa terlihat tidak produktif lagi. Aku baru tahu kalau pohon sawit bisa hidup setinggi itu, kupikir ia hanya seperti pohon salak karena yang sering kuperhatikan dijalan tumbuh pendek-pendek.
Memasuki bagian dalam dari tempat ini membuatku seolah bangun dari mimpi. Tempat ini tampak terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan pulau nan cantik ini. Lihat saja tata letak bagi setiap bagian sangatlah apik, lalu masuk ke bagian yang lebih dalam, jalan-jalan nampak teratur seolah membawa ke vila di puncak. Dan yah ada villa juga meski sederhana karena gaya lama serta ada`lapang golf yang menjadi daya tarik ditengah-tengah perkebunan yang sudah mulai beroperasi dari tahun 1995 ini.
Berjumpa dengan bapak yang ditugaskan menyambut kami lagi membuka wawasan baru. Perkebunan ini memiliki luas belasan ribu hektar dengan pabrik terintegrasi yang langsung mengolah bahan baku. Hasil bahan pun tidak dipakai di negeri sendiri melainkan diekspor ke negara-negara Asia Timur, Selatan, dan Afrika. Hasil produksi per harinya mencapai ribuan ton. Saya bertanya-tanya dalam hati, semua ini milik siapa? Lantas diskusi selanjutnya lebih mencengangkan lagi, bahwa seperti perkebunan serupa pada umumnya, perusahaan ini juga milik pengusaha dari negara tetangga. Para insinyur yang baru bertemu saya tadi adalah orang-orang yang bekerja dibawahnya. Okelah untuk teknisi, programmer untuk pengendalian mesin berkomputer dan menggunakan mesin lainnya, tapi bagaimana dengan para buruh? Yang angkut sana, angkut sini? Yang panas melepuh saat memetik hasil panen? Sedangkan pulau ini memang selalu panas, kurasa sebenarnya pulau ini hanya memiliki musim panas sekali dan panas saja hingga wajar jika lama kemudian kulit menjadi sangat Indonesia, sawo matang. Perih karena terlalu matang.
Kembali ke cerita awal, bagaimana tanah seluas ini menjadi surga bagi pemiliknya, atau pemilik sebagian atau kepala-kepala divisi yang agak tinggi jabatannya. Kenapa jika sebuah tempat publik itu bagus kualitasnya, entahkah perusahaan, entahkah rumah sakit, entahkah sekolah, haruslah milik asing? Menjadi buruh di negeri sendiri seakan sudah menjadi kebiasaan yang lumrah, begitukah? Kutanya pada lapangan golf yang menawan, ia tersenyum, diam.
No comments:
Post a Comment