Gubrak, besok udah tahun baru, menghabiskan hari-hari di rumah memang tak pernah terasa lama. Meski selalu saja saya membawa borongan pekerjaan, yang saya pikir awalnya sedikit tapi rupanya lumayan, dari mulai nilai-nilai, analisis, rancangan program, dsb dsb yang membuat liburan ini terasa berat :D. Bahkan dalam mimpi pun terbawa-bawa, ini ni akibat drama queen sebagiannya masih belum dibuang, apa-apa yang dipikirkan dan dikerjakan ikut menghiasi bunga mimpi malam-malamnya, swear, jadi berasa masih bekerja, dikejar-kejar pekerjaan mungkin lebih tepatnya.
Oh ya, sempat tertawa waktu ayah yang jarang sekali mengubah status lalu menuliskan sebaris pertanyaan aneh, bertumpuk dan tidak jelas. Nah setelah diklarifikasi tentang maksud dan tujuan dari kalimat tersebut, saya dihantarkan ke kamar beliau yang sudah tertempel tulisan besar-besar, yang paling membekas dan jadi pemikiran saya sepanjang ikut jalan-jalan, selama memasak ini itu, makan juga (oke, saya terlalu suka berpikir hal yang satu saat melakukan hal lain), pernyataan pertama berbunyi tentang kematian. Apa yang paling dekat dalam kehidupan ini? Jawabnya kematian. Sangat dekat, hingga sering terlupakan. Sama halnya dengan Tuhan yang tak pernah menjaga jarak tapi sering terlupakan, aghhhhh pengen jungkir balik rasanya ingat tahun ini dan sebelum-sebelumnya. Kematian yang datang tanpa ijin terlebih dahulu. Jika dulu saya pernah mendengar kisah lama dari ayah yang saya tidak tahu itu dari masa mana, atau hadis mana, ceritanya begini. Singkat saja, ketika seorang bapak tua meninggal, ia lalu protes pada Tuhan (ingat cerita Will Smith dan anaknya btw, skip it). "Tuhan, mengapa Engkau mencabut nyawaku tanpa permisi? Tanpa ada bel pengingat? Kan saya bisa siap-siap, begitu kira-kira." Lalu jawaban yangdiperolehnya begini, "kenapa kamu tidak memperhatikan surat pemberitahuan dari malaikat untukmu, lihat putih ubanmu yang menandakan kurangnya umurmu, lalu pendengaranmu yang juga berkurang, kemudian matamu yang kian kabur, dan masih banyak lagi peringatan yang tak kamu indahkan." Kurang lebih begitu, jika ayah adalah pencerita yang te o pe, entah itu bahasa inggris atau bukan, atau cerita dari zaman sekarang entah zaman tempoe doloe, my daddy is number one, dan nampaknya tidak menurun ke saya. Hm, kadang hal-hal genetis itu pilih-pilih ya?
Kembali ke kematian, nah kalau dari cerita tersebut saya bisa menyimpulkan bahwa kematian (most of) menyerang orang-orang tua, meski tidak dipungkiri bahwa yang muda pun banyak beruban. But, what? Kalau kita lihat lagi, lihat banget, kematian tidak sebegitu setia pada orang tua, lah yang muda saja akhir-akhir ini banyak yang udah dijemput duluan. Ini ni yang bikin saya sumpah tidak bisa tidur nyenyak.
Jika saya tidak mudah tersentuh oleh film drama atau film enyek-enyek lainnya, saya masih punya hati untuk cerita tertulis dan juga peristiwa yang menimpa orang-orang di sekitar saya, terutama yang kenal. Kemarin saya diajak mengunjungi rumah seorang guru SMP saya yang saya baru tahu bahwa beliau ini baru meninggal dua minggu lalu. See, beliau belum tua-tua amat dan dilihat dari foto terbarunya beliau belum beruban, masih gagah, masih tampan. Mendengar cerita istrinya yang berlinang air mata, saya seddddiiiiiiih sekali. Beliau ini punya anak tiga yang kecil-kecil dan bungsu malah belum mengerti apa-apa. Yang lebih sedih lagi jika melihat karya beliau yang luar biasa, saya merasa terpukul. Istilah istrinya, suami saya baru membuatkan kaki untuk kami, saya rasanya tidak kuat untuk berjalan...:( Saya melihat foto-foto saat mereka sama-sama. Bersama sekolah lagi hingga sarjana, bersama membangun mimpi-mimpi membantu banyak orang,. God cerita begini seratus kali lebih menyentuh dari video sedih manapun. Saya malah tidak terbayang kalau di posisi beliau seperti apa jadinya. Bapak ini pernah jadi tepatnya pembina eskul waktu saya SMP, beliau bisa disebut multi talented, bisa silat, elektronik, macam-macam sampai Bahasa Inggris, makanya saya selalu salut, datang kemari sebatang kara dan saya baru tahu beliau dulu tidak memegang ijazah sarjana, yah namanya juga pembina eskul tapi semua dulu saya panggil bapak atau ibu kalau sudah berada di lingkungan sekolah. Episode kehidupan beliau dilanjutkan dengan jatuh cinta dan menyunting tetangga depan rumah saya. Kemudian keduanya hidup layaknya pasangan biasa, tapi karyanya itu loh, bapak ini sudah bikin beberapa lembaga yang sampai saat ini masih ada di kepala saya bahkan tanpa prototype..*ugh gondok dengan diri sendiri. Sudah dari dulu saya ingin melihat karya beliau dari dekat dan mampir untuk bercerita tentang banyak hal, tapi menunda-nunda hal baik itu memang selalu buruk. Look, saya baru mampir ke rumah beliau yang memang cukup jauh sekarang, saat saya hanya bisa menyaksikan semua ruang kosong, buku-buku ensiklopedia, hingga yasin yang berserakan bergambar beliau...pathetic. Kematian itu tega-tega saja. Mati sebenarnya jauh berbeda dengan hampir mati. Saya sering sekali merutuki kejadian yang membuat saya mati suri tahun lalu hingga awal tahun ini, wake up, girl. Saya mikir bapak ini umurnya 40an dengan karya yang banyak sekali manfaatnya untuk keluarga dan lingkungan sekitarnya. Balik lagi, lagi-lagi balik, mimpi apapun setinggi gunung jangan sampai membuat diri ini hanya menjadi manusia yang hanya kerangkanya saja. Manusia saja, egois, semua tentang diri sendiri, tanpa meninggalkan bekas-bekas atau sebutlah masterpiece untuk kemaslahatan umat. Tidak selalu sebuah maha karya, bisa saja yang sederhana, yang kecil-kecil. Duuuh Tuhan, kenapa menjadi manusia baik dan lurus itu susah?
Kesibukan duniawi, juga kesibukan mencari makna alias mikir saja tanpa aksi itu menyebalkan. Sepanjang jalan pulang kerumah saya jadi ingat seorang teman karib saya yang awal tahun ini kehilangan suami. Okelah jika bapak guru saya sudah meninggalkan banyak hal agar istri dan anak-anaknya dapat melanjutkan kehidupan serta kebersamaan yang sudah lama yang sebenarnya relatif sekali. Tapi teman akrab saya ini harus kehilangan suaminya ditahun ketiga pernikahannya. Ditinggal dengan seorang anak laki-laki imut yang pendiam tanpa keluarga lain di pulau antah berantah tanpa pegangan dan tanpa kaki seperti yang diatas. sedatar-datar emosi saya, saya tetap akan ikut menangis jika ke rumah teman saya tersebut. Setiap kali kawan, setiap ke rumahnya ia akan tetap bercerita tentang suaminya, tentang singkatnya waktu bersama, tentang tidak ada tanda-tanda berarti bahwa ia akan pergi. Belum lagi kesulitan yang ia hadapi saat berjuang hidup di pulau ini, jauh dari rumah, orang tua jauh dan bekerja, kalau saya jadi dia, sepertinya saya akan meninggalkan pekerjaan dan berlari ke rumah orang tua. Tapi entahlah, benar bila Tuhan berkata manusia punya ujian masing-masing. Tidak lagi seragam seperti ujian SMA, SNMPTN, atau TOEFL, atau apapun ujian yang sama untuk tiap kepala. Kehidupan tidak begitu. Manusia punya ukuran masing-masing hingga apapun yang dihadapkan padanya berbeda. Jika saya berkata tidak sanggup menghadapi ujian yang diterima karib saya tersebut, banyak juga teman saya mengaku tidak akan sanggup berada di posisi saya dengan ujian bertubi-tubi yang tampak mengerikan, mengerikan memang. Tapi lihat, manusia pada dasarnya kuat dengan apapun yang disuguhkan didepannya. Haruskah saya mengulang kalimat si Forest Gump, Life is like a box of chocolate, we will never know what taste will we have. Jika kehidupan menyuguhkan sekotak coklat, kita berbicara tentang coklat yang banyak rasanya bukan coklat satu macam saja, maka rasa yang ditawarkan akan berbeda dan coklat juga punya rasa pahit tidak enak tapi punya banyak khasiat. Itulah saya rasa perumpamaan tersebut bisa diambil untuk kehidupan. Yang sulit, yang pahit bisa jadi obat.
Karena kehidupan begitu panjang (relatif) maka potongan-potongan kejadian yang dilalui pun harus dihadapi dengan penuh rasa-rasa yang susah belajarnya. Katakanlah orang mudah mengatakan "sabar", "ikhlas", "semangat", atau sejenis itu. Saya katakan susah karena porsinya harus terus berkembang dan belajarnya pun seumur hidup. Lah, jika semudah menghapal definisi sabar maka manusia di dunia ini akan jadi penyabar semua, tapi tidak, semua memakan proses panjang luar biasa yang melelahkan. Akhir tahun, tidak terasa sudah sangat ujung, tapi saya yakin tidak ada kata terlambat untuk mengubah arah hidup. Kalaupun sulit, sudah pasti sangat sulit setidaknya berusaha, ya kan? Don't you think this is what we call the real long life learning? I personally believe nobody is too tired of learning how to live, although I can say for sure there are a lot of people are tired of being in a classroom. Fortunately learning is not only in that tiny space, it's a lot wider :)
No comments:
Post a Comment