Hai, apa kabarmu nun jauh disana? Setelah
bertahun-tahun, ah ya ini tahun kelima, aku kembali mengingatmu dengan sendu.
Ini kali pertama aku menatap laut kembali dengan tatapan murung karena kamu,
kamu yang jauh disana. Aku begitu rapi menyimpanmu, menyimpan kisah kita. Namun, biarkan kali ini aku mengingatmu dengan cara yang baru kusukai dua tahun terakhir ini.
Semalam acara Miss World, aku sudah lama
meninggalkan kebiasaan menonton acara pemilihan ratu sejagad dan sejenisnya
karena kalimatmu itu, “Why should they spend a lot of money just for choosing
the most beautiful woman, while here, in front of me, in the middle of the
breeze of the sea, Miss Universe (saat itu belum ada Miss World) is standing right beside me. That
lavish and glamorous event is useless.” Aku tersenyum, sungguh menyenangkan
karena kamu selalu ada menemani setiap gerak perjuanganku, dulu. Tapi karena
kamu pula, aku seolah tak peduli dengan acara itu, karena sederhana saja, aku
akan menangisi ketiadaanmu.
Kamu, yang bahkan saat pergi pun membuatku menjadi
lebih baik. Membuatku memutuskan untuk hidup sesuai dengan semua aturan ketat
dan baku agar hidup dijalan yang benar. Dulu, aku terus berharap dengan begitu
Tuhan akan mengembalikanmu padaku, entahlah dengan cara seperti apa. Tapi, itu
konyol... yah, aku menyadarinya tapi terus menekan diri sendiri. Kamu tahu
kadang aku begitu lelah hidup dijalan yang telah kupilih itu. Jika ada kamu,
mungkin cerita hidupku takkan serumit ini. Cukup kamu, kotak beludru yang kita
lihat di pasar itu, dan semua jalinan mimpi-mimpi aneh tapi ajaib itu. Namun,
tak ada yang bisa mereka-reka apa yang akan menimpa siapapun, hingga jalan
ceritaku menjadi begitu panjang dan berliku, kadang menapak terjal juga curam.
Setudaknya aku tidak menyesali cerita ini, setidaknya aku tahu kamu tidak perlu
bersusah payah menjalani semuanya sepertiku, cukup hingga 21 saja dan kamu
menutup semua cerita hidupmu dan membawa serta sepotong hatiku, selamanya. Aku
tahu kamu telah bahagia di sana. Tidak ada kerumitan yang pernah menghampiri
hidup singkatmu. Semua orang yang mengenalmu sangat menyanyangimu, hingga aku
sekuat tenaga menjauhi mereka, dulu. Dan sekarang sudah sangat jauh, hanya sesekali
mereka bertanya kabarku, tanpa berani menyingkap kenangan yang mereka yakin
masih tertanam kokoh dalam diriku.
Hanya kamu, dan Tuhan yang tahu, mengapa aku
hingga saat ini tak pernah bisa mencintai dengan utuh. Kamu, pria sempurna
dengan hati luar biasa tak pernah mudah untuk digantikan oleh pria baik
lainnya. Bukan, bukan aku tak pernah mencoba untuk jatuh cinta (see, mencoba
jatuh cinta). Mungkin sudah dua atau tiga kali aku mencoba berdamai dengan
takdir yang merenggutmu dari tanganku, lalu melanjutkan hidup. Bukankah itu
inginmu, “berbahagialah, aku ingin kamu bahagia, selalu.” Tahukan kamu bahwa
mencintai separuh bisa membuat luka lain yang tak pernah kurasakan saat
bersamamu? Ah, kamu pasti akan mengatakan, dulu kita masih begitu muda sehingga
luka beragam jenis apapun tak akan pernah mampu menembus bahagia kita. Padahal,
bahagia itu saat ada kamu. Aku mencobanya, aku dan sepotong hatiku yang baru.
Tapi, tak ada yang sekokoh dirimu menemaniku, mencintaiku, dan menginginkanku.
Tidak ada yang seindah dirimu memperlakukanku.
Aku terpekur menatap laut yang tersenyum
menyambut pagi, menyapaku dengan lembut. Setidaknya aku sudah menerima laut
sebagai teman. Ingatkah kamu dengan embun yang lembut menggoda tiap kita
menyusuri pantai, lalu kamu berkata dengan lantang akulah pengendara angin. Itu
lucu, jika pengendaranya telah pergi begitu jauh, maka yang harus kutuntun
adalah keretanya bukan? Ada banyak pertanyaan, selalu dan masih begitu
dikepalaku.
Apa kabarmu? Harusnya kamu 27 tahun saat ini. Apa
karena akhir-akhir ini aku berusaha menjadikanmu hanya sebatas memori berharga
membuatmu marah dan muncul dalam bentuk ruam-ruam ingatan yang melesak hingga
ke nadiku? Bukan aku tak mengingatmu jika aku tak pernah mengunjungi pusaramu,
aku hanya ingin mencintaimu dengan cara yang lebih anggun. Bagaimana aku akan
bertahan hidup jika aku masih terus menangisi kepergianmu? Bukankah lebih baik,
jika aku menatapmu dari tepian laut ini yang tentu akan menyampaikan salamku ke
tepian sana, ke tepian laut yang merenggutmu dariku.
No comments:
Post a Comment